Gadis Penyuka Hujan
Kamis, 14 April 2011


Sebut saja si gadis penyuka hujan.
Saya memang menyukai hujan, saya suka menikmati bersama teman saya. sepi.
Tidak banyak yang tahu, bunyi hujan itu merdu. Terlebih saat dimulainya gerimis. Mereka seperti bernyanyi sorak-sorak di atap kamar membentuk sebuah nada.
Saya suka aroma petrichor. Petrichor itu wangi hujan pertama. Sebutlah itu aroma hujan yang bercampur dengan tanah. Sering ku hela perlahan-lahan untuk menikmatinya.
Lega.
Entah.
Saat ku menulis ini hujan memang sedang turun. Wangi petrichor terlalu tajam memasuki kamar saya. Sesekali saya keluar, demi menikmati keberadaan hujan yang sesungguhnya. Saya memang harus keluar kalau ingin melihat hujan. Karena jendela kamar saya tak berhadapan langsung dengan pemandangan luar.
Duduk berlama-lama di teras dan memandangi hujan, ditemani dengan secangkir teh panas. Cangkir bunga-bunga.
Duduk diam dan menatap. Saya suka menatap mereka. Menatap mereka yang ramai, berebut menyentuh tanah. Terdengar sedikit riuh saat melihat ke tanah. Tapi saya suka. Lucu.
Di sini, saya hendak menunggu pesan yang disampaikan hujan pada saya. Seperti yang saya tahu, hujan selalu pandai mengantar rindu. Rindu yang diselipkan di sela-sela rintiknya. Rindu yang menusuk tajam sampai ke jantung. Tusukan yang lembut, tapi tidak terlalu menyakitkan. Karena saya menikmatinya.
Hujan bagiku adalah keromantisan. Pelukan dinginnya mampu merasuk pelan lewat sendi-sendi dalam rongga di hati.
Ah, hujan selalu pandai mengantar rindu.
Di dalam keriuhan mereka, ada ruang lain yang telah mereka sediakan untuk saya. Sebut saja ruang merindu.
Kemudian saya menengadahkan tangan kanan saya. Saya hendak bersentuhan dengan hujan, lalu berbisik, "sampaikanlah..". Dingin. Hanya dingin yang saya rasakan. Sedingin sikap dia (yang sedang kurindukan). Hujan hanya diam saja, mungkin hujan takut saya kecewa. Dari sini saya merasakan sesak. Persendian saya lemas. Petrichor yang pelan-pelan menusuk itu perlahan membunuh saya. Pelan tapi pasti. Inilah yang hendak hujan sampaikan pada saya ?
Hujan memberiku tempat untuk merindui dia(yang kurindui), yang sedang dingin sikapnya pada saya.
Saya mencintai hujan, tapi tidak kali ini.
Hujanpun perlahan reda. Masih tampak sisa-sisa keberadaannya. Basah. Tanah-tanah masih memanjakan petrichor untuk penciuman saya. Embun yang bertengger di dedaunanpun belum mengering. Dari arah timur, saat saya berdiri di luar rumah saya, saya melihat lengkungan warna-warni mejikuhibiniu. Pelangi. Ternyata hujan menghadiahiku pelangi. Ah, hujan...
Dari situ saya mengerti hidup.
Mendung, hujan, pelangi.
Seperti kehidupan. Bila kita ingin mendapatkan pelangi, kita harus rela tersiram rintik-rintik hujan.
