sepahit kopi yang tertinggal di tenggorokan
Jumat, 20 Mei 2011

Jarum jam menunjuk angka 5. Pada langit sore, dimana senja sedang menggelantung di batas cakrawala.
Menikmati secangkir kopi pahit dengan kepulan rokok di bibir. Duduk di bangku kayu jati yang sudah renta. Di teras.
Ku sruput kopi yang masih panas. Rasa pahitnya tertinggal di tenggorokan.
Kau muncul dari balik pagar yang tak terkunci. Senyummu masih sama. Lesung pipimu yang dulu kusuka. Tapi kau datang bersama dia, laki-laki yang telah merebutmu dari dekapanku. Pada dekap tulus melindungi.
Luka ini belum mengering, sayang. Marah ini belum juga padam. Pahit ini masih terasa getir.
Terlebih saat ku tahu kau sudah hamil 2bulan, bersama laki-laki brengsek itu. Bagaimana bisa sayang, november, tepat 2 bulan yang lalu. Ah, kata cintamu sangat meyakinkan
Tak malukah kau, datang bersimbah air mata. Memohon ampun padaku. Dengan sebuah undangan pernikahanmu yang masih dalam genggammu. Memohon restu. Tak adakah yang lebih buruk dari ini ?
Kau tusuk jantungku dengan sembilu. Kau cabik-cabik, sayang ! Apa guna air matamu. Apa guna maafmu. Apa guna kedatanganmu. Apa guna sayang ...
Luka ini belum mengering, sayang. Marah ini belum juga padam. Pahit ini masih terasa getir.
Belum juga aku sempat melupakan semua itu, kau sudah datang menambah luka baru.
Kau lihat.. Laki-laki brengsek itu, terlihat tanpa dosa sedikitpun. Senyum sinis menggelantung di atap bibirnya. Ingin rasanya kusiramkan kopi panas ini pada muka lelakimu itu.
Ini. Kurobek-robek kertas undanganmu di depan matamu. Tak cukup mengobati luka hati.
