"di sini drama dimulai, di ruang hampa yang penuh kisah."

Home Facebook kosong Twitter Contact
About Me

Foto Saya
Buku Diary sudah lama tak tersentuh sejak ada diary online seperti ini. dan, karena ini online, dan sudah pasti bukan lagi menjadi rahasia bagi diri sendiri. maka, tidak semua yang anda baca ini hasil dari cerita nyata si penulis :p

Credits

Image
Blogskins

Jadilah Teman Ary

Twitter Ary dhruva

Di balik jendela
Senin, 06 Juni 2011



Di balik jendela ini, aku selalu menunggu ayah datang menjemputku. Di rumah nenek.

Aku ngiri ketika melihat teman-temanku bermain dengan ayahnya. Digendong, dibonceng sepeda, main layang-layang, mencuci mobil, memotong rumput dan membaca. Sudah delapan bulan aku tinggal di rumah nenek. Waktu itu minggu sore, ibu buru-buru mengajakku ikut dengannya, meninggalkan rumah. Ibu tidak memberikan alasan. Ibu menangis ketika aku bertanya tentang ayah. Jadi aku diam saja, aku tak ingin ibu menangis. aku yakin ayah pasti menjemputku. Memangnya ayah tidak kangen apa ? Pasti ayah kangen. Makanya aku harus jadi anak yang sabar.. sabar menunggu ayah.

Waktu itu umurku lima. Ayah sayang sekali padaku. Aku tau itu. Ayah selalu membelaku ketika teman-teman cowokku menakaliku.

"ayah, memang anak cowok itu beraninya cuma sama anak perempuan ya ? Aku sebel yah !"

Ayah cuma bilang, "jangan takut, kan ada ayah" diucapnya sambil mengusap air mataku.

"jadi anak perempuan jangan suka cengeng ya.. harus kuat ! juga sabar" kata ayah kembali.

"he-eh" jawabku mengangguk.
Betapa aku bahagia, memiliki ayah yang baik. Aku anak perempuan yang merasa dilindungi ayahnya.

Sedangkan ibu, ibu adalah sosok yang lembut. Sekalipun ibu tak pernah memarahiku. Mungkin karena aku anak satu-satunya, mereka melimpahkan kasih sayangnya padaku.

Beberapa saat sebelum ibu mengajakku ke rumah nenek. Aku belum paham tentang ini. Kudengar ayah dan ibu sedang berteriak-teriak. Pernah kulihat ayah memukul tangan ibu, ibu berteriak, ayah juga. Kemudian ibu menangis.

Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Rumah menjadi gaduh.

"sudah ! Biar aku dan clara yang pergi dari rumah ini. Biar kau bisa senang-senang dengan perempuan brengsek itu"

Itu pertama kalinya aku mendengar ibu marah dan berteriak. Kemudian Ibu menghampiriku (yang sedang berdiri di depan pintu kamar mereka), memeluk lalu menciumiku. Tanpa mereka sadari, aku sedang menyaksikan mereka. Ibu menangis.

Dari balik jendela ini, aku juga sering mengintip-intip tetangga yang sedang bermain-main dengan ayahnya. Aku kepengen nangis, tapi kata ayah, anak perempuan gak boleh cengeng. Aku telan mentah-mentah air mataku.

Aku, yang dulu ceria, jadi sering murung di kamar. Suka berbincang-bincang pada ruang kosong, pada boneka bear, pada guling, pada patung mr.bean, pada jendela, pada tembok, pada gerimis.

"ayah... Jemput aku dan ibu. Ibu sering menangis. Ibu tak doyan makan. Ibu tak pernah (bisa) tidur. Ibu sering murung. Juga aku. Apa ayah sudah tidak kangen lagi ?" barusan aku berkata pada boneka bear.

Aku pergi ke jendela lagi. Sedang ada gerimis.
"ayah.... Clara kangen ayah. Pengen maen hujan-hujanan sama ayah, lalu mendapati ibu cemberut saat mengetahui kita basah kuyup"

Mungkin tampak aneh, atau ada yang mengira aku gila. Setidaknya ini tampak lebih normal dibandingkan berbincang pada tembok atau pada ruang kosong. Seperti yang kulakukan akhir-akhir ini, semenjah ayah tak bersama.


Total Pageviews

Web Site Visitor Counter

Tinggalkan pesan di sini :)


ShoutMix chat widget


Waktu Indonesia Bagian Barat

Ads

Place your Google Ads/Nuffnang ads here.

Hits

Tracking stats here.

All writings found on this blog shall not be reproduced without permission.