Sedetik, kemudian puisi
Jumat, 29 Juli 2011

Sedetik, kemudian hujan menderu, seperti diburu waktu, jatuh lalu berlarian, tak perlu diantar : gerimis atau geluduk.
Bahkan, secangkir kopi belum sempat diseduh, belum dingin, baru empat kali putaran sendok mengikuti arus jam detak.
Jatuhan hujan seperti detak yang mencipta melodi dari sebuah piano. Seirama dengan detak jantungku : alunan rindu.
Menunggu hujan reda, sambil menyeduh secangkir kopi. Tunggu beberapa waktu, ampasnya biar mengendap, rasanya pahit.
Sepertinya, jodoh juga masalah menunggu. Bisa jadi jodoh sedang dipinjam orang. Atau kehilangan arah lalu tersesat di tengah jalan. Parahnya, jika yang kau tunggu sedang jatuh di depan orang. Tunggu beberapa waktu sampai pahitnya mengendap, bersama secangkir doa yang siap kau sesap. Beruntungnya, jika jodoh yang kau tunggu sedang mempersiapkan diri. Semisal menunggu hujan sampai reda. Jangan tutup pintumu ! barangkali sebentar lagi datang.
Lalu, kupilih menikmati dentuman hujan bersama secangkir kopi. Aku sedang menunggu. Kau tau, apa yang paling kusuka ? Aroma petrichor.
Entah kenapa, bagiku hujan seperti punya nyawa. Hei, lihat ! Kaki-kaki runcingnya melompat-lompat. Dia sedang menghibur, atau menggodaku ? Ah dia meledekku. Barusaja hujan mengantar rindu. Warnaku merah jambu. Tapi tetap, sedang menunggu.
Hujan.
Sedetik, kemudian puisi.
